Berpikir Utuh



“Hmm, anda salah memahami. Bagi saya ini adalah masalah yang sangat besar. Saya hanya berusaha keras untuk terlihat tenang, agar rekan-rekan berpikir pemimpin mereka sudah menemukan solusinya. Kalau terlihat panik, saya khawatir kalau masalah yang mengancam nafkah mereka ini, membuat mereka berpikir tiba-tiba Allah SWT tidak lagi Maha Pemurah dan Penyayang, karena ketakutan sempitnya rizki sudah menguasai pikiran”

Sejak kecil, kita terlatih untuk berpikir parsial: Allah SWT memang ada, tapi rejeki itu haruslah berupa harta (tangible). Bila harta tidak ada, maka Allah SWT menjadi ‘tidak ada’, karena rejeki dari Allah SWT, representasi keberadaan Allah SWT, hanyalah berbentuk harta. Kalaupun berbagi, cukup 2.5% saja karena bila lebih dari itu, kita terancam kekurangan.

Juga sangat sering menyaksikan diri kita menempatkan Allah SWT hanya di masjid atau ditikar sajadah. Diluar tempat itu, hadir tidaknya Allah SWT sama saja. Sepanjang ‘rejeki’ itu bisa diperoleh, tidak masalah apakah kita berangkat dari tidak mengingat Allah SWT atau hasilnya tidak mengingatkan kita pada Allah SWT.

Maka menjadi menarik berhadapan dengan logika berpikir bahwa “persepsi yang salah terhadap Allah SWT” karena sebuah masalah adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari masalah itu sendiri. Logika tersebut bukan saja menunjukkan perilaku istiqamah, namun juga kaafah (menyeluruh, holistik).

Saya yakin anda setuju bila pernyataan diatas memang menggugah. Ia menyentil, mengingatkan. Namun lebih dari itu, ia memberi bukti, bahwa berpikir parsial bukanlah satu-satunya pilihan yang tersedia. Berpikir utuh bahkan menawarkan sesuatu yang lebih luas. Manakah yang akan kita jalani, pilihannya ada ditangan kita.  


0
www.scriptsell.net