“Tidak mengapa, bagi saya bukan itu masalahnya. Bila kita bersungguh-sungguh mencoba menjadi mereka, maka akan terlihat hal yang sangat berbeda. Su’udzon, berburuk sangka, adalah sesuatu yang sangat menyenangkan, namun tidak akan menghasilkan apa-apa”. Diskusi itupun diakhiri dengan keheranan mayoritas yang hadir. Rencana tindakan balasanpun tertunda untuk dilaksanakan.
Dalam keseharian, sangat mudah kita gagal berkomunikasi. Meski berbicara, kita acapkali justru mendapatkan sisi pandang yang berbeda. Saya disini, anda tetap disana. Ada batas, ada labirin yang menghalangi kita menangkap pesan utamanya.
Ego adalah pertama yang muncul, lalu diikuti oleh prasangka. Maka seluruh sumberdaya yang kita miliki menggiring kita bersiap menghadapi ancaman. Apapun hasilnya kemudian, hampir dapat dipastikan tidak ada sesuatu yang konstruktif yang dihasilkan. Pun bila ada, tidak disertai dengan ketulusan, dengan ketenangan.
“Kita harus bermain dengan hati, karena emosi tidak akan mampu mencerna pesan”. Dan bermain dengan hati adalah pekerjaan sederhana yang seringkali menjadi sangat rumit dan melelahkan. Bermain dengan hati mengharuskan hadirnya kebesaran jiwa. Prasangka baik, fokus pada peluang tidak dapat berdiri diatas ketakutan, cemas atau perasaan terancam.
Keyakinan, rasa percaya mutlak hadir untuk sebuah komunikasi. Salah paham akhirnya dapat diselesaikan, meski terkadang setelah mengorbankan banyak hal dan menghasilkan persoalan yang tak perlu. Selalunya, itu diperoleh setelah kita mencoba terbuka, bertanya, membebaskan diri dari prasangka.
Pilihan untuk bermain dengan hati atau dengan ego dan prasangka buruk sesungguhnya tersedia sejak awal. Apakah kita akan belajar dari kesalahan atau tetap menikmati luapan ego dan prasangka buruk, pilihannya ada ditangan kita