“Masalah ini sangat menggangu hubungan kita. Saya tidak akan pernah lagi menjadi bawahanmu. Besok sore kita akan bertemu kembali, sebagai dua sahabat”. Delapan tahun terakhir, keduanya terus bertemu, sebagai dua sahabat.
Rasa sayang atau benci adalah kacamata hati yang dengannya kita melihat dunia. Sangat sering kitapun tersesat. Bila sayang, tak ada keburukan yang tampak. Bila benci, tak ada kebaikan yang terlihat. Padahal manusia diciptakan seimbang antara kebaikan dan keburukan. Maka bila kita gagal melihat salah satunya, kita diambang jurang kerusakan.
Hal paling sederhana namun paling sulit adalah berlaku seimbang. Ketika kita cinta, kita tahu ada keburukan yang tertutupi. Ketika kita benci, kitapun tahu ada kebaikan yang tersembunyi. Yang terjadi, kita tidak mampu berlaku seimbang lalu menggunakan kacamata hati untuk memaksa perubahan fakta, untuk memberikan justifikasi, menutupi kelemahan kita.
Dibutuhkan lebih dari sekedar keinginan untuk dapat berlaku seimbang. Kesadaran bahwa ada yang kita tidak tahu adalah kuncinya. Dengannya, kita bersiap untuk menerima kekurangan sama baiknya dengan kelebihan seseorang. Dengannya kita dapat berfokus pada kesempatan dan tidak terkungkung oleh masalah.
Mereka yang berlaku seimbang, dipastikan melihat sesuatu yang lebih jauh, lebih besar. Karena itu mereka rela mengorbankan kenikmatan berkubang diantara pembenaran semu. Mereka selalu memilih hal yang paling menyesakkan: berhenti menyalahkan dan berfokus pada peluang dari sebuah masalah.