Kacamata Hati


“Saya tahu itu. Namun menyaksikan mereka terlihat begitu menikmati nasi sayur dan kerupuk, membuat makanan saya terasa begitu lezat. Mungkin karena alasan itu, lalat, debu dan bau keringat mereka bisa saya abaikan. Kelezatan itu ternyata bukan pada makanannya, namun pada pikiran saya”.

Kebahagiaan adalah persepsi. Dan persepsi dibangun dari interaksi keluarga dan sosial, pengalaman termasuk pendidikan. Persepsi adalah kacamata. Bila berwarna biru, maka apa yang kita lihat cenderung kebiru-biruan.

Maka kebahagiaan sesungguhnya sesuatu yang sangat relatif. Karena itu, selama tidak melanggar aturan agama, tersedia cukup alasan untuk menemukan dan merasakan kebahagian, bahkan dari hal-hal yang selama ini justru menggambarkan kebalikannya. Mengapa agama? Karena padanya ada batas-batas kebahagiaan yang bermanfaat dan kebahagiaan yang merusak

Tantangannya adalah bagaimana menemukan ‘kacamata hati’, demikian saya pilih istilah itu. Kacamata hati membawa penglihatan kita menembus lapisan-lapisan semu persepsi tentang kebahagian dan kesenangan. Bersantap diantara lalat-lalat dan debu ternyata tidak selamanya membawa kesusahan. Dalam kisah diatas, kacamata hati justru menunjukkan pada pemakainya kebahagiaan yang tersembunyi yang selama ini luput dari pengamatan.

Saya tidak mengajak anda untuk bersantap diantara lalat-lalat dan debu. Saya mengajak anda menemukan kacamata hati, mengajak anda untuk melihat sesuatu dari sisi yang berbeda. Agar kita selalu dapat keluar dari kesempitan, ketidak nyamanan tanpa selalu mempersyaratkan hadirnya perubahan keadaan.

Menjadi susah atau bahagia, sesungguhnya adalah sebuah pilihan. Dan pilihan itu seluruhnya ada digenggaman tangan kita.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0
www.scriptsell.net