Mentalitas Korban

 

“Dia yang telah menyakiti perasaanku, bagaimana bisa kau minta aku menerimanya? Aku mau bekerja denganmu, tidak dengannya”. Tiga-empat bulan terakhir, ketika semua bergerak maju, ia masih di zona nyaman, diam dan terus menerus menyalahkan.

Zona Nyaman tidak mesti keadaan yang menyenangkan. Sebagian dari kita merasa sangat nyaman dalam kesulitan, kesempitan. Mereka enggan keluar, hijrah, berubah dan mengambil peluang. Semakin tertinggal, semakin mereka mencari pembenaran bahwa mereka adalah korban sebenarnya.

Respon kita berbeda ketika dimarahi orang yang kita sayangi dengan dimarahi atasan, meski sebabnya sama. Apapun alasannya, Itu membuktikan satu hal: kita bisa memilih, kita tidak terkukung oleh pola sebab-akibat yang berlaku umum. Artinya lagi, sekali kita bisa melakukan, kita pasti bisa melakukannya kembali, dalam waktu-tempat-sebab yang berbeda.

Namun menyalahkan orang lain selalunya lebih mudah, lebih menyenangkan. Kita bisa mendapatkan simpati, perhatian yang tidak kita dapatkan ketika bekerja keras. Demikian juga berputar-putar dari satu alasan ke lainnya menegaskan kita telah terzalimi dan karenanya benar bila kita sekarang lemah, pantas dikasihani

Pada akhirnya mentalitas korban hanya akan menghasilkan korban sebenarnya. Mereka mengerti betul hal itu, namun tidak ingin keluar dri zona nyaman. Seperti kita selalu bangkit setelah berselisih dengan orang yang kita cintai, mentalitas korban dapat dengan mudah ditinggalkan. Menjadi korban sesungguhnya atau berubah menjadi pemenang adalah sebuah pilihan. Dan selalunya, pilihan ada ditangan kita.


 


0
www.scriptsell.net